Gagal Skripsi Membuat Saya Bangkit Sekali Lagi
Saya gagal skripsi di semester yang seharusnya.
Padahal saya kira saya sudah cukup struggle dengan segala perjuangan saya saat itu. Eh, ternyata gagal juga.
Saya ingat waktu itu bulan puasa. Sambil gigit bibir mengecek uang di dompet apakah cukup untuk isi kartu transjakarta, sebab kampus saya 22 KM jauhnya dari rumah dan minimal isi duapuluh ribu. Rupiah yang nilainya cukup besar bagi saya.
Atau apakah ada uang untuk mengeprint? sebab printer bukan fasilitas yang saya punya. Jadi harus pintar-pintar memadatkan tulisan, mengatur spasi dan rata kanan kiri. Sehingga niat mengirit bisa sejalan dengan kemauan dosen soal kerapihan format tulisan.
Masalah lainnya adalah laptop. Sebab kakak saya yang seorang guru honor tidak punya cukup materi untuk punya perangkatnya sendiri. Milik saya dipakai. Bergantian dengan dia memasukkan nilai, sedang saya mengejar bab dan lain hal.
Saya ingat sudah tidak ada tidur lagi di waktu-waktu setelah sholat tarawih. Tidak pula ada lagi waktu memejam selepas makan sahur.
Kepala saya delirium, tapi saya lebih takut tidak lulus dan beasiswa dicabut pada saat itu.
Tapi kata Tuhan, saya memang harus bertahan lebih lama di kampus saya.
Presentase turnitin saya turun satu satu. Tidak sekaligus banyak padahal waktu sudah amat mepet di detik-detik krusial. Akhirnya bisa ditebak. Saya gagal daftar sidang skripsi, satu langkah lagi menuju baju toga dan gelar sarjana hanya gara-gara terlambat 3 menit mengumpulkan berkas.
Sedih? Jangan ditanya.
Rasanya sakit betul padahal saya pikir saya sudah mengerahkan yang saya bisa. Tapi nyatanya belum cukup. Tidak cukup. Sampai saya tidak paham bagaimana supaya cukup.
Saya frustasi, tentu. Waktu itu pukul 4 Sore dengan keadaan belum tidur sama sekali, plus jam tidur berantakan di minggu-minggu sebelumnya, saya sudah merasa seperti mayat.
Nyawa seperti meninggalkan tubuh dan kenyataan saya gagal sidang terasa seperti mimpi buat saya. Padahal satu langkah lagi. Padahal cuma telat 3 menit, begitu benak saya berputar.
Ibu dan keluarga suruh saya tidur. Minta saya berusaha lagi esok hari barangkali Kepala Prodi mau memaafkan 3 menit keterlambatan saya. Tapi hasilnya sama saja. Tak peduli seberapa sesak napas dan seberapa banyak air mata berlingangan di pipi saya, Kepala Prodi tetap menggeleng.
Maka yang tersisa cuma kesedihan. Stress, kesepian, kemarahan akan dunia yang rasanya begitu kejam saat itu. Kesedihan saya bertambah besar sebab nilai IP terakhir saya adalah yang paling tinggi di angkatan. Tapi tidak lulus tepat waktu? Bayangkan perasaan saya saat itu. Terhina, rendah, semuanya campur aduk jadi satu.
Mau meraung seperti apapun juga, saya adalah orang yang sudah gagal.
Tapi mau sesedih apapun saya saat itu, dunia tetap berjalan.
Libur semester, melihat status instragam dan whatsapp teman-teman berseliweran tentang wisuda dan pemberkasan, tak lebih dari kehancuran hati saya yang semakin masif.
Saya puasa sosial media, tidak bisa tersenyum saat lebaran tiba, tidak bisa menjawab tetangga soal sudahkah diwisuda? Tidak bisa.
Saya tidak bisa apa-apa kecuali menangis diam-diam saat sholat, menulis isi hati saya sejujur-jujurnya dan bergelung di kamar. Apalagi Ayah saya yang biasanya hangat mendadak tidak bicara dengan saya selama beberapa waktu. Makin sedih saja rasanya.
Beruntung, saya punya Ibu, kakak dan sahabat-sahabat yang pengertian. Mengatakan tidak apa-apa, nanti coba lagi, dan lain sebagainya. Kami saling menyemangati, memberi support dan kabar kapanpun merasa sedih. Akhirnya Saya tahu saya tidak sendiri.
Maka perlahan-lahan saya bangkit. Menghadapi semester baru dan musuh saya: SKRIPSI, sekali lagi.
Saya sekarang sedang proses menapaki ulang jalan yang kemarin saya terjatuh. Titian yang sama dalam timeskip satu semester. Mencoba bangkit sekali lagi dan mengalahkan skripsi.
Saya sudah pernah gagal. Namun kegagalan bukan alasan untuk tidak mencoba lagi. Justru karena sudah gagal, kita harus bangkit lagi. Coba lagi, lagi dan lagi.
Kali ini, saya ingin berhasil. Pembaca, doakan saya ya! Bagi yang sekarang juga sedang berjuang, ayo kita semangat sama-sama. Kita, saya dan anda pasti bisa!
Komentar
Posting Komentar